Advertise Here     Advertise Here

Bernafas dengan Pisang

1329949219336502831
Pak Nawawi di bulan bulan seperti sekarang ini termasuk orang paling bersyukur di Denpasar. Sebagai pedagang pisang kdliling sejak awal tahun dia merasakan rejeki super nomplok. Pisang melimpah dari Jawa, terutama dari Lumajang dan Jember tapi harganya tidak membuat dia pening.

“Tahun lalu pisang melimpah harga belinya selangit harga jualnya seperti harga kapuk, enteng dan melenceng dari harapan, sekarang pisang bejibun harga di Jawa super murah tapi harga jual disini lumayan tinggi,” tutur kakek 5 cucu berumur 75 tahun ini.

Dia sudah lebih dari 10 tahun menjadi penjual pisang keliling di seputaran Denpasar, ketika itu setandan pisang masihpun Rp 5000. Sekarang harganya setandan bisa mencapai Rp 50.000 yang bila disapih lebih kecil lagi menjadi sekitar 10 sisir.

“Pisang seakan menjadi bagian dari kehidupan saya, dia nafas dan urat nadi saya,” ungkapnya sambil sibuk mengemasi barang dagangan yang baru dibelinya di pasar buah Batu Bidak Bali. Selama setahun tak ada hari yang dia lewatkan tanpa kegiatan rutin yang sepintas tampak membosankan itu.

Sekitar jam 8 pagi dia sudah berangkat dari kediamannya yang mungil di pusat kota Denpasar seputaran Jalan Bukit Tunggal. Dia mengenakan celana gombrang baju lengan pendek dan topi juragan sapi. Terbuat dari suede kulit kuda dan telah lengket dikepalanya sejak masih jadi pedagang nenas, manggis dan mangga di Jember tempo dulu.

“Topi ini memberi saya semangat  untuk terus berjualan, bangkrut di nenas manggis dan mangga bersamanya, dia juga ikut merasakan sukses kecil saya menjadi penjaja pisang keliling,” paparnya.
Kebangkrutan masa lalunya ternyata berawal dari kebiasaan dia menebas aneka macam buah di kampungnya di Kalisat Jember. Pohon buah yang ada di setiap rumah penduduk disambanginya tiap harh, bila ada yang berbunga dia sudah  berani menawar dengan harga tinggi.

13299498801168393140 
“Itu yang namanya sistim tebas, kita seperti menebak sebanyak apakah nantinya hasil panen si pohon,” tuturnya. Bila prediksinya tepat, dia bisa untung besar tapi bila meleset langsung rugi seketika, sampai modal dan keuntungan bertahun tahun amblas.

“Sebelum berjualan pisang keliling saya juragan nenas mangga manggis di Kalisat, anjlognya saat tebasan saya meleset sampai 3 musim, ruginya sampai ke ubun ubun,” tambahnya.

Maka diapun mulai dari nol lagi. Berjualan pisang keliling bersamaan dengan dibukanya pasar buah di Bali itu membuatnya sedikit lega. Tapi sekaligus bingung, selama ini dia hanya akrab dengan buah musiman, nenas setahun 2 kali, mangga dan manggis setahun sekali.

Sedangkan pisang setiap saat ada, tak kenal musim, jenisnyapun banyak, mulai dari pisang kepok, raja, ambon, emas, sangket, kayu, bunga, batu dan banyak lagi yang lainnya. Pak Nawawi saat awal masih meraba raba.

“Pernah selama sebulan saya melakukan pilihan salah, memborong pisang ambon karena murah, ternyata orang Bali khususnya Denpasar tak doyan mengkonsumsinya karena terlalu lembek dan terlalu manis,” ucapnya. Pilihan jatuh pada pisang raja dan pisang kepok, teksturnya tidak lembek dan rasanya tidak membuat nek karena kemanisan.

Setiap hari dia tak selalu mendatangi juragan pisang yang sama. Pak Nawawi melakukan pilihan dengan ekstra ketat. Pisang yang dibelinya saat ini harus habis hari ini juga.
“Saya pantang melakukan pengarbitan, karena rasa pisang jadi kecut dan kulitnya jadi keras seperi sandal jepit,” tambahnya. 

Tak kurang satu jam dihabiskannya untuk melakukan nego dengan juragan pisang yang kebanyakan datang dari Lumajang, Jember dan Banyuwangi. Setelah harga disepakati dia akan mengambil hanya satu tandan.

Pak Nawawi kemudian melakukan ritual berikutnya, memotong sendiri sesisir demi sesisir pisan g itu dari tandannya. Ini proses maha penting dalam siklus jualan pisangnya. Pisang harus dipotong dengan rapi, karena pembeli biasanya tidak sekedar melihat pisang yang warnanya mencorong, tapi juga bekas potongannya yang juga rapi.
“Sepele tapi selama ini dengan memotong menggunakan hati dan perasaan, pisangnya tak pernah balik kerumah karena tak laku,” ungkapnya. Artinya setandan pisang yang bias dipilah menjadi 10 tandan itu ludes dalam sekali jalan.

Pisang yang masak di pohon merupakan ciri khas dagangan Pak Nawawi dan dia sendirhan menggeluti bisnis yang menurutnya tak kenal pasang surut itu. Dia berjualan ibaratnya 300 hari dalam setahun, libur hanya di hari Nyepi karena pasar tutup dan saat lebaran karena dia mesti mudik menengok anak cucunya selama seminggu.

“Hari lain saya terus berjualan, tak peduli hujan dan terik menerpa, saya kerja terus,” tambahnya.
1329949819446699322 
Usai mengemasi seluruh tandan pisang ke dalam tobosnya dia lalu meluncur mengunjungi pelanggannya. Pak Nawawi tidak punya tempat khusus, dia berkeliling. Dia mengistilahkannya dengan istilah berjualan pisang dengan sistim jemput bola. 

Setiap jalan dalam kota diselusurinya. Tak perlu teriak mengumbar nama barang dagangannya. Pelanggannya sudah mahfum jam berapa Pak Nawawi bakal lewat dan mereka biasanya sudah menanti dengan penuh harap akan mendapatkan pisang yang bagus kwalitasnya dan terjangkau harganya. Dia memang bernafas dengan pisang.

sumber :

 
Advertise Here Advertise Here Advertise Here Advertise Here Advertise Here Advertise Here Advertise Here