Saat memimpin rapat penting perusahaan, secara tiba-tiba Pak Iwan ( nama
samaran ) merasa tangan dan kaki sebelah kanan menjadi lemas, dan
bicara menjadi pelo. Dalam hitungan beberapa menit kemudian pak Iwan pun
tidak sadarkan diri. Pak Iwan segera dibawa oleh rekan-rekan sekerjanya
ke rumah sakit terdekat untuk diberikan pertolongan medis segera.
Dokter ahli saraf yang memeriksanya, menjelaskan bahwa pak Iwan terkena
serangan Stroke karena hipertensi yang tidak terkontrol. Keluarga dan
rekan sekantor cukup kaget, karena selama ini pak Iwan tidak pernah
mengeluh sesuatu.
Cerita di atas, merupakan suatu ilustrasi
betapa penyakit stroke datang secara tiba-tiba. Stroke atau "serangan
otak" terjadi bila terdapat bekuan darah atau akibat pecahnya pembuluh
darah yang mengakibatkan gangguan aliran darah pada suatu area di otak
dan mengakibatkan kematian sel otak. Penderita Stroke dapat mengalami
gejala kelumpuhan sebelah badan, gangguan menelan, gangguan memori,
gangguan berpikir, dan gejala lainnya, tergantung pada area otak yang
terkena. Pada keadaan yang fatal, seperti stroke yang mengenai area
batang otak, maupun area yang cukup luas di otak, stroke dapat
menyebabkan kematian.
Gejala stroke sebenarnya sudah dikenal
sejak zaman Hipocrates 2400 tahun yang lalu. Saat itu masih sangat
sedikit diketahui tentang anatomi dan fungsi dari otak, penyebab stroke
dan bagaimana mengatasinya. Pada pertengahan 1600 Jacob Wepfer
menemukan bahwa gejala stroke yang timbul tersebut dapat disebabkan oleh
adanya perdarahan dan sumbatan di otak.
Seiring berkembangnya
ilmu kedokteran, saat ini telah banyak diketahui patofisiologi dan
berbagai faktor risiko Stroke, begitu juga tentang penatalaksanaan
Stroke. Namun perkembangan ilmu tersebut tidak mengubah banyak kedudukan
Stroke sebagai penyebab kematian tiga besar terbanyak dan penyebab
kecacatan utama. Berdasarkan fakta tersebut sudah selayaknya
menempatkan pencegahan primer Stroke sebagai suatu tulang punggung untuk
mengatasi masalah Stroke.
Fakta menunjukkan bahwa 70 % dari
semua kejadian stroke setiap tahun merupakan serangan stroke yang
pertama kali. Sebenarnya dengan mengetahui individu-individu mana yang
merupakan stroke prone atau berisiko tinggi terkena stroke, intervensi
pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin sehingga stroke tidak terjadi.
Pendekatan tidak hanya mengidentifikasi faktor risikonya, namun juga
risiko vaskular global dan menangani maupun memodifikasi berbagai faktor
risiko ini.
Terdapat dua jenis faktor risiko stroke. Pertama,
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin,
ras, dan faktor genetik dan kedua, faktor risiko yang dapat
dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterol,
kegemukan, penyakit jantung, alkohol, merokok, penyalahgunaan obat,
sleep apnea, dan sebagainya. Hipertensi merupakan salah satu faktor
risiko utama stroke terpenting. Hipertensi yang tidak terkontrol,
tidak hanya menyebabkan kerusakan organ otak yang berakibat stroke,
tetapi juga mengakibatkan gagal ginjal, gagal jantung, kerusakan
vaskular mata maupun vaskular lainnya. Panduan yang dikeluarkan oleh
Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Indonesian Society of Hypertension -
INASH) berdasarkan panduan The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure ke 7,
merekomendasikan penurunan tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg (atau
< 130/80 mmHg pada penderita diabetes). Pada panduan tersebut juga
dijelaskan bahwa pendekatan penatalaksaan hipertensi bukan saja dengan
pendekatan obat-obatan namun juga perubahan pola hidup. seperti olahraga
yang teratur, penurunan berat badan, pengaturan diet termasuk diet
rendah garam dapat mengurangi tekanan darah dan mengurangi kejadian
Stroke.
Penggunaan obat-obat antihipertensi sangat dianjurkan
bagi penderita hipertensi, terlebih bila penderita hipertensi tersebut
mempunyai faktor risiko lainnya, seperti diabetes, kegemukan,
hiperkolesterol, maupun sudah terdapat kerusakan organ seperti otak,
jantung dan ginjal. Namun sering terdapat pendapat keliru di masyarakat
bahwa mengonsumsi obat antihipertensi akan menyebabkan ketergantungan.
Hal ini menyebabkan beberapa penderita hipertensi enggan, dan baru
mulai mengkonsumsi obat antihipertensi saat sudah terjadi kerusakan
organ. Penderita hipertensi seringkali lebih takut akan efek samping
obat dibandingkan dengan malapetaka akibat hipertensi itu sendiri.
Sehingga tidaklah mengherankan bila pada lebih dari 20% penderita stroke
, baru mengetahui bahwa dirinya menderita hipertensi saat sudah terkena
stroke. Jadi sangatlah keliru menggunakan kata "ketergantungan".
Penggunaan obat-obat antihipertensi adalah suatu "kebutuhan" dan
bukanlah ketergantungan. Dengan penggunaan obat-obat antihipertensi
secara teratur dan sesuai petunjuk dokter, sudah dapat mengurangi banyak
kejadian kerusakan organ. Fakta menunjukkan penggunaan obat
antihipertensif dapat mengurangi kejadian stroke 35% sampai 44% dan data
penelitian lain menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah hanya 2
mmHg pun sudah mengurangi 10% risiko kematian akibat stroke dan 7%
kematian akibat serangan jantung. Sehingga bukanlah hanya slogan Palang
Merah Indonesia yang berbunyi "setiap tetes darah anda sangat
berharga" namun fakta di atas menunjukkan bahwa " setiap millimeter
tekanan darah anda sangat berharga".
source : http://www.medikaholistik.com